Selasa, 12 Februari 2008

Album LPCK 2 : Membangkitkan Sastra Karo





MEMBANGKITKAN SASTRA KARO
DIANTARA SASTRA INDONESIA

Medi Juna Sembiring, SS


Secara tidak langsung, mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra Indonesia. Sebab, khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan daerah yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi kegelisahan, adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak tenggelam diantara `hiruk pikuk` kesusasteraan di Indonesia.

Agar sastra Karo dapat dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus memakai `jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.

Sementara, penilaian akan kwalitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini tergantung `kaca mata` penelahaan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya. Penilaian tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era Karo Klasik dan Era Karo Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan cerminan sosial sebuah peradaban yang mengandung amanah-amanah kehidupan.

Apakah defenisi sastra Karo ? Apa ciri khas sastra Karo dibandingkan karya sastra suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia?. Berbicara tentang Karo, tentu ada dua poin utama. Yakni orangnya dan alam ulayatnya. Merujuk hal tersebut, maka sastra Karo, tentunya karya sastra yang bertautan erat dengan 3 unsur, yakni :

1. Orang Karo (sistem kekerabatan Merga Silima, Rakut Sitelu, Tutur Siwaluh dan Perkade-kaden Sepulu Dua + Sada)

2. Alam/wilayah ulayat Karo

3. Bahasa penyajian adalah bahasa Karo. Idealnya, menggunakan aksara Surat Haru yang dilandasi tulisan Nagari yang dibawa migran dari India sembari memperkenalkan agama Budha sekitar abad ke-5. Minimal, menggunakan bahasa Karo yang dilandasi huruf latin.

Untuk kwalifikasi pertama dan kedua di atas, adalah hal yang tidak merepotkan untuk masa yang sekarang. Namun, ketika memasuki poin yang ketiga, tentu banyak pergumulan yang perlu direnungkan. Jangankan dulu untuk orang di luar Karo, namun, untuk kalangan masyarakat Karo sendiri, diyakini tidak ada lima persen pun yang masih memahami Surat Haru. Namun, bilamana untuk kebutuhan lokal, dan tujuan untuk melestarikan warisan leluhur, ketiga kwalifikasi di atas perlu dijadikan rujukan utama.
Salam hangat...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda