Sabtu, 21 Juni 2008

BAB IX-X

BAB IX

KEBUDAYAAN KARO
DAN
PERUBAHAN SOSIAL

Budaya suatu bangsa, adalah gambaran cara hidup masyarakat dari bangsa yang bersangkutan. Tinggi rendahnya budaya suatu bangsa, tercermin dari materi-materi budaya yang ada pada bangsa itu. Suku Karo sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, pada masa lampau telah memiliki budaya yang cukup tinggi (kata cukup tinggi menunjukkan nilai luhur), yang dapat dibuktikan dari materi budaya Karo yang dapat dikatakan telah lengkap, seperti :

a. Tatanan kehidupan masyarakat Karo yang terikat di dalam suatu sistem, yaitu : Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu.
b. Tulisan dan bahasa Karo yang cukup kaya (perhatikan istilah bisbis, cekurang, meluat, permalna, mbergohna, daluna, buganna, bajarna, iluh, dlsb, yang masih banyak lagi).
c. Peralatan hidup yang cukup lengkap, seperti : kudin, tendang, ukat, kerpe, busan-busan, cuan, kiskis, capah, sapo, sangketen, kampoh, sekin, tajak, benangun, palas, ret-ret-sangka mamok, dlsb.
Hal ini sangat tinggi nilainya karena nama-namanya “asli” bahasa Karo, bukan berasal dari bahasa asing, seperti cangkul, piring, sendok, garpu, gambar, potret, dlsb.
d. Pembinaan rohaniah/kepercayaan serta tata cara pelaksanaannya seperti ngaleng tendi, perumah begu, persilihi, erpangir ku lau, dlsb.
e. Alat-alat kesenian Karo yang beragam jenisnya, sesuai dengan kepentingannya, seperti perangkat gendang, sarune, gendang, gunung, penganak, belobat, sordam, kulcapi, ketteng-ketteng, dlsb.
f. Ragam busana, baik untuk pria maupun wanita, bentuk busananya berbeda-beda dalam berbagai jenis dan ragam pesta. Seperti pesta perkawinan, guro-guro aron, kemalangan, ngelandekken galuh, dlsb. Semua acara ini memiliki bentuk busana yang berbeda-beda.
g. Penentuan hari untuk turun ke ladang menanam padi, didasarkan kepada musim (semacam ramalan cuaca)
h. Nama-nama hari, seperti aditia, suma, nggara, dlsb.
i. Dan lain-lain

Demikianlah beberapa data yang dapat membuktikan, bahwa suku Karo memang memiliki suatu budaya yang cukup tinggi.

Dalam masyarakat Batak Karo, masa atau periode transisi ini jelas terlihat, karena proses itu berlangsung dalam satu generasi. Pengaruh luar terhadap budaya Karo dimulai sekitar tahun 30-an dan masa pendudukan Jepang. Pada periode sebelumnya, kehidupan tradisional masyarakat Karo berlangsung secara murni.

Penjajah Belanda yang efektif di Tanah Karo menjelang akhir abad ke-19, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pola hidup tradisional bangsa Batak Karo. Zending dari negeri Belanda yang berusaha meng-kristen-kan masyarakat Karo ternyata kurang berhasil. Sekolah-sekolah Zending yang didirikan di beberapa tempat, tidak mendapat tanggapan dari masyarakat.

Pendirian rumah sakit Zending di Sibolangit dan Kabanjahe, terlampau kecil pengaruhnya. Walaupun mampu mendidik putra-putri Karo menjadi paramedis, yang juga sekaligus berubah agamanya, dari pelebegu menjadi kristen. Dapatlah disimpulkan, bahwa penjajah Belanda hanya sedikit pengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat Karo.

Barulah pada masa pendudukan Jepang terjadi suatu dinamika radikal, dimana pemuda-pemuda Karo dididik menjadi prajurit. Sekolah-sekolah ditingkatkan, guru-guru diperbanyak. Nyanyian-nyanyian Jepang yang membangkitkan semangat, berkumandang hingga ke desa-desa. Pengaruh kekuasaan Jepang juga terasa hingga ke desa-desa. Seperti penguasaan produksi, sistem catu, latihan baris-berbaris, dan lain sebagainya. Mobilitas masyarakat Karo juga mulai meningkat, terutama frekwensi kunjungan ke kota-kota.

Hal ini semua mengakibatkan kesiagaan masyarakat Karo untuk menyongsong kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Masyarakat Karo telah siap menerima kemerdekaan dan sekaligus mempertahankannya. Dengan demikian, maka masyarakat Karo juga telah siap dan sadar dengan perubahan sosial yang ditimbulkan pendudukan Jepang dan proklamasi kemerdekaan itu.


ADAT SEBAGAI SUMBER NORMA

Mengantar awal dari tulisan (bagian) ini, penulis ingin mengutipkan beberapa catatan yang dibuat oleh Budhi K. Sinulingga, dalam artikelnya berjudul “Selayang Pandang Sejarah Suku Karo” yang dimuat majalah “Dalihan Na Tolu”, Nomor 4 tahun 1978 sebagai berikut:

Seorang ahli sejarah di Indonesia, Porf. Moh. Yamin mengatakan, pengaruh Hindu di Sumatera hanya sampai di Jambi. Tapi kurang diketahui dasarnya, Muhammad Said, Pemimpin Harian Waspada di Medan mengatakan, Hindu juga mempunya pengaruh hingga ke Dairi dan Dataran Tinggi Karo.

Katanya, ketika Islam pertama kali masuk di Baros, Hindu menyingkir ke arah Dairi dan Kab. Karo. Peristiwa itu terjadi sekitar tahu 19200-an. Dalam hal ini dapat pula dilihat adanya cabang-cabang marga Sembiring memakai nama-nama berbau Sanserkerta, yaitu Brahmana, atau Meliala yang dianggap berasal dari Malyalah: Pandia – Pandya; Colia-Solyan; Tekang-Tekhanam. Upacara `Perkualuh` di Suka Piring, yaiut upacara penghanyutan abu jenazah, adalah berasal pengaruh Hindu. Perkataan Perkualuhberasal dari kata “aloe”, yaitu bahasa Aceh yang berarti air.

Tentang adanya pengaruh Hindu ini, disamping bukti-bukti tentang ditemukannya temple di Sembahe, Bangun Purba dan Sarinembah (1923), juga terlihat dari upacara-upacara yang berhubungan dengan roh-roh atau tendi. Umpamanya dalam upacara `Persilihi` dan Erpangir ku Lau. Perselihi adalah upacara substitusi dimana gana-gana atau patung dijadikan ganti dari orang yang telah dinyatakan dukun atau guru akan mengalami bahaya maut. ‘Ndilo Tendi’ adalah pemanggilan tendi dari orang yang dianggap telah mengembara atau ditawan oleh kuasa-kuasa natural. Sedang Erpangir ku Lau adalah upacara untuk memulihkan rezeki dengan berlangir ke sungai. Upacara-upara ini hanya berhubungan dengan mytho kejadian dunia. Si Dunda Katekuten, Si Kosar Baru Dayang dan sebagainya.

Dalam upacara Perselihi, nama Debata Keci-keci disebut-sebut sebagai kesatuan dari Tiga Dewa yang dikenal, yaitu ; Dewa atau Dibata Batara Guru yang bersemayang di atas, Paduka Aji atau dewa yang bersemayam di bumi tengah, serta Dewa Banua Koling di dunia bawah.

Jelasnya, sistem kedewataan Hindu tidak sepenuhnya diterima masyarakat Karo, karena tipisnya pengetahuan suku ini tentang dewa-dewa yang universil sifatnya. Adanya pengaruh Hindu makin jelas apabila kita amati mantera-mantera. Mantera yang dimulia dengan kata ‘hong’, adalah berasal dari Hindu. Sementara yang dimulai dari ‘Bismillah’, berasal dari pengaruh Islam. Selain itu, dalam mantera itu juga terdengar nama-nama : Muhammad, malaikat Jibril, Panglima Hamzah dan lain-lain.

Keterikatan masyarakat Karo terhadap pengaruh ini, berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Bukti lain dari adanya pengaruh Hindu pada masyarakat Karo terlihat dari ‘Erlige-lige’, yaitu suatu upacara penguburan yang menarik jenazah di atas lige-lige, yaitu suatu bangunan tinggi yang ditarik ratusan orang. Upacara ini sangat mirip dengan upacara-upacara yang ada di agama Hindu, yang hingga kini masih dilakukan di Bali.

Erlige-lige yang terakhir dilakukan yaitu tahun 1960 di Medan. Ketika itu Jamin Gintings menjabat Pangdam II/Bukit Barisan. Upacara Erlige-lige masih dilakukan di Tanah Karo sebelum kedatangan Jepang tahun 1942. Di samping itu, patut kiranya dicatat bahwa, di atas kuburan-kuburan orang Karo biasa dikibarkan bendera putih, khususnya di atas kuburan dukun, yang hingga kini masih terdapat pada pemeluk Hindu Bali di Pulau Bali.

‘Upacara Pe (te) rumah Nini’, yang kurang lebih merupakan upacara pemanggilan roh nenek moyang untuk memasuki raga Guru si Baso, sehingga si nini bisa berdialog dengan keturunannya. Dalam hal ini, sebenarnya bukanlah pengaruh agama Hindu semata. Akan tetapi masih ada bekas sisa-sisa kepercayaan lama, yaitu yang lazim disebut, Pemena, Pelbegu dan lain-lain. Tentu saja dalam hal ini tak perlu membuat gusar benar, sebab pengaruh-pengaruh demikian, wajar adanya. Upacara-upacara sedemikian, lengkap diikuti dengan segala macam “Sajen” (Sajian) juga terjadi di Jawa.

Ungkapan mantera yang memakai ‘hong’, juga dikenal antara lain dalam bentuk : hong wilaheng awigena, mas putu batara langgeng. Suatu ungkapan yang biasa terjadi di dalam dunia perwayangan. Pengaruh lain dari agama Islam. Dalam hal tentang pengaruh Islam dalam masyarakat Karo sangat jelas terlihat bahwa di Kesultanan Aceh, ujung utara pulau Sumatera hingga sungai Asahan di Timur Danau Toba, sangat kuat pengaruh Islam terutama dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda (sekitar tahun 1650-an). Pada masa inilah suku bangsa Karo yang tinggal di Langkat dan Deli Serdang masuk agama Islam. Jadi Islam telah masuk kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu.

Anderson, penulis ‘Mission to the East Coast of Sumatera’, 1923, menyebut-nyebut bahwa orang Karo turut membantu Sultan Deli memberontak terhadap Kesultanan Aceh. Ada dugaan, bahwa orang Karo yang dimaksud di sini, adalah orang Karo yang telah masuk Islam di bawah raja-raja yang memakai marga Karo, seperti Datuk Sukapiring, Datuk Sabernaman, Kejurusan Sanembah Deli, Kejurusan Bahorok (Langkat Hulu) dan lain-lain.

Snouck Hurgronje, seorang Belanda yang banyak menulis tentang sejarah Aceh dan Islam, dalam bukunya ‘The Gayo Land’, berpendapat bahwa penduduk Lingga pernah beremigrasi ke Gayo. Pendapat ini didasarkan atas terdapatnya marga Lingga di Gayo, yang bersamaan dengan marga Sinulingga di Lingga. Hubungan Lingga dengan Gayo diperkuat dengan adanya makam Tengku Syeh, seorang penganjur Islam di Uruk Ndoli, sebuah bukit antara desa Perbesi dan Bintang Meriah di Kabupaten Karo. Bintang meriah diakui sebagai marga Sinulingga yang berasal dari Lingga. Perkataan ‘Lau Bahing’ yaitu pemandian Bintang Meriah, dikatakan berasal dari kata ‘Perbandingan’, sebuah tempat mandi di Lingga.

Tengku Syeh yang dimakamkan di Uruk Ndoli itu, dalam misinya berjalan dari Gayo ke Kabupaten Karo, memintas pegunungan Bukit Barisan menuju Bahorok di sekitar-sekitar desa Perbesi, Bintang Meriah dan Kuta Buluh. Bahwa ia dimakamkan di Uruk Ndoli tidak perlu diherankan apabila diingat bahwa di kaki bukit itu terdapat pancuran bernama Tambak Malim. Diduga dalam perjalanannya yang panjang itu, almarhum sering mandi dan bersembahyang di Tambak Malim. Makam itu hingga kini terawat baik, dan banyak orang datang mengunjunginya. Terutama mereka yang percaya kepada ilmu gaib. Ada dugaan bahwa pemandian itu mendapat nama Tambak Malim dari dari Tengku Syeh. Malim diduga berasal dari kata alim. Dalam hal ini, kemungkinan lainnya asal kata tersebut adalah Tambar Malem. Dua kata ini mempunya arti yang sangat baik dalam bahasa Karo.

Pada tahun 1905, Letnan Kolonel Van Daleen dengan para serdadunya dalam rangka operasi pembersihan dalam perang Aceh yang formil telah berakhir dengan menyerahnya Sultan Aceh pada tahun 1903 memasuki dataran tinggi Karo dan menempatkan di sini Kapten H. Colijn sebagai penguasa perang (militaire gezagheber) di Tanah Karo. Kemudian Colijn digantikan oleh Kontelir Poortman yang dipindahkan dari Sipirok ke Tanah Karo. Maka mulailah berlangsung penjajahan Belanda di daerah tersebut yang mana berakhir pada Maret 1942 dengan kedatangan tentara Jepang yang dapat menaklukkan seluruh Hindia Belanda dalam waktu yang sangat singkat. Kontelir Poortman segera mengusahakan agar pemerintahan kolonial berjalan secara efektif. Tindakannya yang pertama adalah membagi tanah Karo.

Dalam menetapkan para kepala dari swaparaja tersebut, Poortman menemukan kesulitan. Karena daerah Karo yang tidak pernah mengenal sistem kerajaan dalam arti yang sesungguhnya. Serta tidak pernah memiliki satu pemerintahan sentral. Sukar sekali memperoleh orang yang dapat ditokohkan sebagai kepala swapraja. Tidak ada orang yang menonjol keahliannya dalam melaksanakan pemerintahan. Dalam hal pemerintahan tradisional selama ini yang sifatnya sangat demokratis, yang memegang tampuk pimpinan hanyalah ‘orang pertama diantara sesamanya’ (primus inter pares)

Poortman mengatasi kesulitan ini dengan mengangkat dua orang yang semarga sebagai kepala swaparaja (twee hoofdige zelfbetuur) secara temporer dengan ketentuan bahwa yang terpanjang usianya diantara yang semarga ini kelak akan ditetapkan sebagai kepala swapraja dengan titel sibayak, yang bersifat hereditair. Setiap Sibayak memerintah daerahnya masing-masing secara otonom. Sedangkan Kontelir yang ditempatkan di Kabanjahe, bertindak selaku penasehat, meskipun dalam prakteknya dalam masalah penting kata terakhir terletak pada penasehat tersebut.

Dalam tahun-tahun berikutnya, Belanda berusaha meniadakan isolasi daerah Karo dengan membuka jalan yang dikeraskan (kemudian diaspal), mulai dari Medan menembus jantung dataran tinggi Karo terus ke Kuta Cane di daerah Aceh Tenggara. Pertimbangan strategi militer dalam pembangunan jalan ini, yakni untuk mempermudahkan transportasi militer berikut alat-alatnya tentu juga merupakan faktor yang penting, mengingat bahwa meskipun Perang Aceh telah resmi berakhir, namun masih tetap merupakan daerah rawan, karena perlawanan rakyat masih terus berjalan meskipun bersifat sporadis.

Namun dengan dibukanya jalan tersebut, rakyat Karo memperoleh manfaat besar. Karena sekarang daerah Karo menjadi daerah yang terbuka bagi dunia luar. Isolasi physik geografis oleh Belanda, meskipun masih dalam tingkat rendah, dan tujuan utamanya adalah untuk mempersiapkan tenaga administratif lapisan bawah dalam rangka menjalankan pemerintahan Kolonial.

Didirikanlah sekolah-sekolah dasar, baik yang berbahasa pengantar Melayu maupun yang berbahasa Belanda.Usaha pertanian juga dipermodern, baik dengan cara memperkenalkan teknik pertanian modern ( pemupukan, anti hama, dlsb) maupun dengan cara memasukkan jenis tanaman baru (kentang, kol, wortel, dlsb). Tanah Karo pernah terkenal karena bunga-bungaan yang pohon induknya berasal dari Eropah. Peternakan juga diberi perhatian secukupnya, dengan memberi pemberantasan penyakit hewan, usaha menaikkan jumlah populasi ternak, dan sebagainya.

Dengan bertambahnya mata-dagangan akibat perbaikan pertanian dan peternakan dan usaha lainnya, maka guna menyalurkan hasil-hasil baru tersebut, didirikanlah beberapa lokasi pertemuan antara pembeli-penjual berupa pekan-pekan yang diadakan secara bergilir menurut jalannya hari-hari per-minggu. Kegiatan perdaganganpun mulai dikenal. Sanitasi dan pengobatan modern juga dipentingkan dengan mendirikan Rumah Sakit dan leproserie (oleh Zending) dan Balai Pengobatan, pemberantasan penyakit menular antara lain cacar, kolera, thypus, digiatkan.

Berastagi dan Kabanjahe dijadikan daerah peristirahatan sehingga benih bagi dunia kepariwisataan mulai ditanamkan. Namun harus diakui bahwa, peningkatan mutu perumahan kurang diperhatikan, sedangkan usaha-usaha perindustrian tidak diperkenalkan secara mendalam. Dalam pada itu tidak boleh dilupakan, bahwa sebelum tahun 1905, daerah kediaman orang Karo di luar dataran tinggi Karo, misalnya daerah Langkat, Deli Serdang dan Dairi, telah mendapat sentuhan pengaruh luar, terutama pengaruh Melayu.

Dapat dikonstatir bahwa sebelum perang dunia ke-II, di daerah Langkat banyak orang Karo ‘masuk’ Melayu (menjadi orang Melayu dengan me-resipier kebudayaan Melayu inklusi agama Islam). Dibukanya usaha-usaha perkebunan oleh maskapai-maskapai Belanda di daerah Langkat dan Deli Serdang menyebabkan selimut isolasi yang selama ini meliputi masyarakat Karo, secara berangsur-angsur semakin terbuka.


PERUBAHAN SOSIAL

Penjajahan Belanda di daerah dataran tinggi Karo hanya berlangsung singkat, tidak lebih dari 37 tahun (1905-1942), sehingga dapat dikatakan bahwa daerah tersebut bahwa daerah di Indonesia yang paling singkat berada di bawah penjajahan. Waktu yang relatif singkat itu menyebabkan Belandabelum mempunyai kesempatan cukup banyak untuk merubah wajah dan isi masyarakat Karo, baik dari segi positif maupun negatif.

Di atas sudah dikemukakan apa yang telah diperbuat Belanda. Tidak diragukan lagi, bahwa apa yang dibuatnya itu, ditinjau dalam rangka apa yang mungkin dilakukan dalam jangka panjang, adalah sangat minim dan tidak berarti banyak dalam skala modernisasi.

Namun dampak dari kontak budaya Karo dengan Belanda yang modern sungguh di luar dugaan, bahkan jauh di luar perhitungan Belanda sendiri. Seperti telah diuraikan di atas, kontak tersebut telah mengangkat tirai/selubung isolasi yang selama ini meliputi masyarakat. Secara tidak sadar, Belanda telah menanam benih-benih perubahan sosial, yang dikemudian hari dikembangkan oleh masyarakat Karo untuk kebaikan dirinya sendiri.

Sewaktu Belanda datang, masyarakat Karo masih merupakan masyarakat murni tradisional. Susunan perekonomiannya dan budayanya masih bersifat agratis. Kesuburan tanah dan iklim yang baik, menyebabkan masyarakatnya sekaligus bersifat swasembada. Hanya beberapa jenis kebutuhan yang dimasukkan dari daerah luar, antara lain garam.

Semua kebutuhan diprodusir – dan hanya diprodusir – untuk konsumsi sendiri. Perdagangan hampir tidak dikenal, kalaupun ada hanya dalam bentuk bartar. Setiap orang dapat memenuhi sendiri kebutuhan pokoknya. Waktu yang diperlukan untuk itu (menanam, merawat dan panen padian, dsb), hanya beberapa bulan saja sepanjang tahun. Yang selebihnya mereka pergunakan untuk bersantai. Dapat dimaklumi bahwa dalam masyarakat yang demikian itu, orang cenderung untuk lekas merasa puas. Jenis dan jumlah kebutuhan tidak pernah bertambah. Masyarakat menjadi statis. Anggota masyarakat menerima keadaan statis itu sebagai suatu hal yang wajar. Perubahan ke arah yang lebih baik, maupun kemungkinan ke arah itu tidak pernah terpikirkan.

Kontak dengan Belanda menyebabkan jendela untuk melihat dunia yang lebih luas menjadi terbuka. Kemungkinan-kemungkinan terbaru terhampar dihadapan mata. Pada mulanya secara kabur dan tidak mempunyai bentuk yang tegas dan karena itu kurang mempesona.

Secara berangsur-angsur dan perlahan tapi pasti, gambaran itu semakin jelas. Dunia pendidikan yang meskipun masih dalam tingkatan rendah, semakin membuka mata orang Karo. Terbukanya mata masyarakat Karo terhadap orang luar bukanlah tujuan utama kedatangan Belanda, melainkan efek sampingan dari kedatangan politik kolonial Belanda yang menjadikan Indonesia termasuk daerah Karo, sebagai suplier bahan mentah pasaran dunia. Sekaligus juga menjadikan Indonesia menjadi tempat pelemparan hasil industri Eropah Barat.

Kedatangan Belanda sendiri membawa serta perubahan sosial yang bersifat fundamental, terutama dalam bidang kekuasaan pemerintahan dengan digesernya kekuasaan tersebut dari tangan rakyat Karo ke tangan Pemerintahan Belanda. Perubahan lainnya yang diadakan Belanda, hanyalah dalam rangka penegakan dan kelanjutan pemerintahan kolonial. Namun dalam perubahan tersebut, terselip pula benih-benih perubahan, yang pada waktunya kelak akan berkembang menjadi perubahan yang membawa manfaat kepada rakyat Karo, antara lain dibukanya jalan-jalan seperti tersebut sebelumnya.

Pemerintahan pendudukan Jepang yang hanya singkat itu, telah mampu menimbulkan rasa cinta kepahlawanan dan disiplin, yang kemudian ternyata bermanfaat dalam usaha perjuangan kemerdekaan. Untuk mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diperjuangkan bangsa Indonesia. Perubahan sosial adalah suatu hal yang perlu dan harus, oleh karena itu kita perjuangkan dengan sungguh dan secara berencana.


JAKARTA PERIODE : 1950-AN

Paksa Belanda jadi penguasa denga i Indonesia enda, labo piga kalak Karo tading i Jakarta. Tapi kenca proklamasi 1945, terlebih kenca penyerahen kedaulatan tahun 1949, piga-piga kalak Karo berkat ku Jakarta. Lit perbahan erdahin bas pemerintahen, lit berusaha, tapi si melalana anak sekolah, nerusken pendidikan ku perguruan tinggi.

Ngadi-ngadi tahun 1960, la she 20 jabu kalak Karo i Jakarta. Tapi bage gia, situhuna ibas tahun 1954, enggo me lit perpulungen kalak Karo, gelarna : KARO SADA KATA. Sedekah kurang lebih 20 tahunen, KSK enggo berperan persada ras pepulung kalak Karo i Jakarta. Kerina acara kebudayaan Karo lit i teruh panji-panji KSK. Umpamana, guro-guro aron, kerja tahun, acara perjabun, kepaten, acara tahun baru, ras acara halal bi halal, pagelaran budaya bas acara nasional, se Jakarta tahpe acara masyarakat Sumatera Utara i Jakarta. Radu ras runggun Gereja GBKP si paksa si e, ersada denga ras Klasis Medan. KSK enggo mereken pengepkeppen perpulungen ras persadaan man kalak Karo i Jakarta.

JAKARTA PERIODE : 1970-AN

Mengketi periode tahun 1970-an, per reh kalak Karo ku Jakarta, enggo kal bali bagi kalak Karo mengketi Medan tahun 1950-an. Terlebih bas paksa si e, enggo lit perusahaan angkutan PO Saudaranta, si karina karyawanna kalak Karo. La persoalen lit SIMna ntah lahang. Asal nggit ngarak-ngarak motor nggo dat nakan ras belanja, janah enggo ka danci gawah-gawah tare motor ndedah Jakarta. Diher terminal/Pool Saudaranta, umpamana : Cililitan, Lenteng Agung bagepe Taneh Kusir, she asa gundari enggo jadi perkutaan kalak Karo.

Mulai me tubuh perpulungen-perpulungen merga. Megati ikataken arisen, kerina merga lit arisenna. Lebih asa merga, sub merga pe lit arisenna. Malahen sub merga ngikutken kesain tahpe ripe i kuta lit arisenna. Acara guro-guro aron, selain ngikutken perpulungen se Jabotabek, enggo erdalan ngikutken pemukimen saja. Lit gendang Tanah Kusir, Gendang Tj Priok, Gendang Cililiten ras sidebanna, janah si erjabaten I tenahken tahpe I legi nangkeng.

JAKARTA PERIODE : 1980-AN

Kenca tahun 1980-an, perpulungen kalak Karo enggo tuhu-tuhu melala erbagena. Lit ngikutken merga, sub merga, kesain, ripe ras anak beruna. Perpulungen kuta-kuta kemulihen, ras perpulungen ngikutken wilayah. Perbahan metirna arus pembangunen, khususna perluasen pemukimen, gundari enggo merupaken sada perpulungen si mbelin kalak Karo se: Jakarta, Tanggerang, Bogor, ras Bekasi (Jabotabek).

Tapi adi lit kerja, janah iban surat undangen kade-kade/keluarga si ikut ngundang labo si se Jabotabek ngenca, tapi ikut se Pulau Jawa ras Lampung, tempa-tempa jadi sada kuta si mbelin. Tambah si e tentuna, lit ka perpulungen ngikutken kiniteken (religi), Kristen ras Islam, enggo erperan mbelin ibas mpepulung kalak Karo.

GBKP Klasis Jakarta umpamana, khusus untuk wilayah Jakarta, Tanggerang, Bogor ras Bekasi, ngengkep 12 runggun. Emkap Jakarta Pusat, Cililitan, Tanjung Priok, Kebayoran Lama, Rawamangun, Depok/LA, Cijantung, Tanggerang, Bogor, Bekasi, Pondok Gede ras Pengumben.

Adi tiap runggun, lit 3 sektor saja, enggo lit 36 perpulungen jabu-jabu tiap minggu. 144 perpulungen tiap bulan, tambah ka PA Moria, Permata KKR tahpe Mamre. Benana 36 kali kebaktian bas cakap Karo tiap bulan. Tiap minggu lit acara petandaken anggota si mbaru reh, janah la enggo pernah lit minggu kosong bas acara petandaken. Arah si e, menam-menam lit registrasi otomatis kerehen kalak Karo ku Jakarta.







PERPINDAHAN SUKU-SUKU KARO
DARI DATARAN TINGGI
KE WILAYAH DUSUN-DUSUN DELI

GURU PATIMPUS SEMBIRING MENDIRIKAN KUTA MEDAN

Seperti telah disinggung sebelumnya, di wilayah “dusun” (pedalaman/di kakai Bukit Barisan), ada suatu suku yang menyebut dirinya Karo (atau Haro di Asahan) yang kini sisanya masih tinggal di kampung Siberaya (dekat di atas Deli Tua), dan mereka disebut Karo Sekali (asli). Mereka inilah (yang Islam), yang bercampur baur dengan orang-orang Melayu pesisir yang menjadikan penduduk kerajaan Haru (deli).

Di dataran tinggi Karo, pada awal abad ke-17, datanglah gelombang invasi dari berbagai marga dari arah Dairi dan Toba. Yaitu, Barus, Lingga dan Sitepu, yang menurut suku Karo, itu bukan asli Karo, sehingga dinamakan Karo-karo. Mereka itu lalu menetap dan membuat perkampungan (kuta) sampai di dataran rendah dekat Deli Tua dan Binjai. Marga Tarigan datang dari Dolok dan Simalungun, dan juga dari Lehe (Dairi), berjalan menuju Nagasaribu dan Jupar. Satu cabang mereka pergi turun ke pesisir (Ale – Deli dekat Pulau Berayan, dan bahkan sampai ke Siak. Masa itu juga Guru Patimpus mendirikan perkampungan – perkampungan (kuta-kuta) sampai di Medan sekarang.

J.H Neumann menduga, mereka pindah bergelombang dari datarang tinggi Karo, karena adanya desakan dari orang-orang India Tamil yang datang dari arah Singkel dan Barus yang masuk ke Taneh Karo, dan juga karena merga Sembiring diusir dari Aceh. Kemungkinan lain ialah, karena tanah di dataran rendah relatif lebih subur daripada di dataran tinggi dimana tanah tidak mencukupi lagi. Itu dimungkinkan karena penduduk di dataran rendah telah menciut akibat peperangan-peperangan dengan Aceh berkali-kali dalam periode 1539-1640, sehingga bandar-bandar hancur, dan kampung-kampung ditinggalkan.

Marga Ginting datang via Tengging lewat pegunungan (layo Lingga) masuk Tanah Karo. Banyak pula daerah mereka yang diambil merga Sembiring. Merga Perangin-angin datang dari Pinem dan Layo Lingga. Mereka menuju ke utara, ke Kuta Buluh dan ke sebelah barat Gunung Sinabung. Juga mereka melintasi pegunungan menuju dataran rendah dekat Binjai. Hanya Perangin-angin Batu Karang yang datang dari arah Siantar, tetapi akhirnya mengaku juga datang dari arah Dairi. Sembiring Kembaren datang melalui Lau Baleng dan via Samperaja (Liang Melas), masuk Bahorok di Langkat. Ada juga yang terus ke Tanah Alas. Invasi yang terakhir adalah dari marga-marga Sembiring lainnya (Brahmana, Meliala, Depari dan lainnya), yang juga melalui jalan tadi, agak ke timur menghulu Sungai Biang dan menuju arah Siberaya.

Jika ditelusuri cerita dari Perbesi, maka marga-marga Sembiring ini baru masuk Dusun Deli dan Serdang kira-kira 150 tahun yang lalu. Merga-merga ini sangat sedikit, dan tidak pernah menjabat Kepala Kampung (Penghulu atau Perbapaan) di Deli dan Serdang. Jadi hampir dari semua mereka ini datang dari Hulu Sungai Singkel dan hulu sungai-sungai di sebelah pantai barat Sumatera.
Apa faktor-faktor dan motif yang mendorong mereka itu pindah ke dataran rendah ? Ada beberapa penyebab:

Jika ditelusuri cerita-cerita dari pustaka mereka, adat Karo zaman dahulu menghendaki putera-putera raja harus merantau dan mendirikan kampung-kampung dan kerajaan-kerajaan yang baru agar turunan mereka menjadi besar. Kita ambil contoh Datuk Sunggal. Sebahagian berpenduduk Karo dari wilayahnya (Serbanyaman) dihuni oleh mereka-mereka yang berasal dari kerajaan Teluk Kuru di dataran tinggi. Di situ yang berkuasa marga Karo-karo Gajah, yang di dataran rendah sangat sedikit jumlahnya.

Selain faktor kesuburan dataran rendah, juga adanya sifat bertualang bagi orang-orang Karo, terutama yang masih lajang, atau kalah perang dan harus mengungsi.

Petualangan-petualangan secara individu juga terjadi, marga-marga dan sub marga saling bercampur untuk tinggal dimana-mana. Mungkin ketika dalam perjalanan berdagang menuju pesisir dan muara-muara sungai dimana ada pedagang-pedagang Melayu, di dalam perjalanan pulang mereka tersesat. Lalu di suatu tempat yang baik, mereka membuka kediaman yang baru, yang disebut ‘Dagang’. Petualangan individu itu bisa juga terjadi dimana orang-orang yang bersalah di kampungnya, lari dan mendirikan pemukiman-pemukiman di dataran rendah. Pemukiman-pemukiman suku Karo ini pada awalnya sampai ke daerah 10 KM dari pesisir pantai. Mereka yang berdiam di pesisir itu telah di Islamkan orang-orang Melayu, seperti halnya Datuk-datu Kepala Urung di Sunggal, Hamparan Perak (XII Kuta), Sukapiring dan Senembah. Mereka inilah perantara dengan rekannya sesama suku yang masih belum beragama di Hulu.

Kampung-kampung Karo yang baru didirikan disebut Kuta, dan kepala kampungnya ialah marga yang mula-mula mendirikan/membuka tanah di situ. Ia berhubungan erat dengan Kepala Kampung Induknya di dataran tinggi. Ia tak ubahnya sebagai koloni baru yang otonom. Kalau dua atau lebih marga berlainan yang mendirikan bersama-sama sebuah kampung, maka masing-masing marga mengepalai satu komplek, yang disebut kesain dari kampung itu. Kepala Kampung ini disebut Penghulu atau Raja, dan kalau titel turunan bangsawan disebut Sibayak. Penghulu tidak memerintah sendiri-sendiri, tetapi didampingi:

1. Anak Beru (anak laki-laki saudari perempua yang lain marga)
2. Senina (salah seorang dari sub marga yang sama dengan penghulu)
3. Kalimbubu (pihak mertua dari Penghulu)
4. Anak Beru Menteri (anak beru dari anak beru penghulu)
5. Pertuha Kuta (orang tua yang dianggap peduli adat dipilih dewan desa)

Jadi, ‘dusun’ yang mempunyai ‘kuta’ (kampung), adalah republik-republik kecil.

PERBAPAAN

Jika suatu kuta baru didirikan oleh orang-orang dari kuta (kampung) Induk, maka kampung induk itu disebut PERBAPAAN (tempat dimana bapak tinggal). Serta kuta yang baru itu tidaklah merdeka sepenuhnya. Karena itu, jika ada perkara dan penduduknya kurang puas, bisa naik banding kepada putusan kampung perbapaan disebut ‘Balai’. Satu Perbapaan bersama-sama anak kampung membentuk ‘kuta’nya satu negeri yang disebut URUNG. Ada juga beberapa kepala kampung yang berjasa kepada Datuk dan diberi gelar ‘Penghulu Kitik’. Sedangkan Perbapaan diberi gelar ‘Penghulu Belin’.


FEDERASI URUNG – URUNG
Setiap wilaya dari Datung (Urung) 4 suku di Deli (terutama Sunggal, Sepuluh Dua Kuta Hamparan Perak dan Sukapiring, dibagi lagi atas 2 wilayah ;

1. Sinuan Bunga, (dimana kapas ditanam). Ini adalah daerah-daerah yang berbatasan dengan dataran pesisir dimana tinggal suku Melayu.
2. Sinuan Gambir (dimana gambir ditanam), ialah wilayah-wilayah penduduk Karo yang berbatas dan bersatu dengan daerah Hulu sampai ke Dataran Tinggi Karo. Jadi, daerah berpenduduk suku Karo di Deli terbagi atas :

a. Kampung – kampung (kuta)
b. Urung (Perbapaan)
c. Hoofd-Perbapaan
d. Datuk-datuk

Di dalam masa interregnum inilah tiba seseorang yang bernama Guru Patimpus ke Medan sekarang ini. Ini dikisahkan dalam riwayat Hamparan Perak. Dokumen asli dalam aksara Karo dan ditulis dalam pustaka yang terdiri dari lempengan-lempengan bambu, tetapi dokumen asli ini yang disimpan di rumah Datuk Hamparan terakhir (Datuk Hafiz Haberham), telah terbakar ketika berkecamuk revolusi sosial yang disponsori kaum komunis di Sumatera Timur, tanggal 4 Maret 1946. Yang ada sekarang hanyalah salinan yang diketik dalam bahasa Indonesia dengan aksara Romawi. Singkatnya, isi dokumen itu adalah sebagai berikut;

RAJA SINGA MAHRAJA memerintah negeri Bekerah kawin dengan puteri dari orang besarnya bernama PUANG NAJELI dan nama orang besarnya itu JALIFA. Dari perkawinan ini, lahirlah dua orang putera, masing-masing bernama Tuan Manjolong (yang kemudian menggantikan kedudukan bapaknya sebagai raja dan Tuan Si Raja Hita, yang belakangan pergi merantau bersama neneknya Jalipa, dan akhirnya tiba di sekitar Gunung Sibayak (Tanah Karo). Sesampainya di sana, salah seorang kesasar di dalam hutan sehingga keduanya terpisah. Jalipa akhirnya sampai ke kampung Kendit. Turunan suku Karo di XII Kuta, asalnya datang dari Kendit ini kemudiannya. Setelah perpisahan ini, Tuan Si Raja Hita kembali ke Bekerah via laut Tawar. Kemudian kawin serta menetap di kampung Pekan. Disana ia memperoleh 3 orang anak. Yang nomer 2 dirajakan di kampung Pekan (Pekan) ini, sedang yang nomor 3 kemudian dirajakan di Kampung Balige. Dan yang tertua bernama Patimpus, yang tak mau menjadi raja, namun suka merantau menambah ilmu, sehingga lama kelamaan ia dikenal sebagai Guru Pa Timpus. Si Raja Hita meninggal. Guru Pa Timpus kemudian pergi ke kampung Pekan. Ia kemudian kawin dengan anak raja Ketusing, dan menetap sementara di sana. Dari perkawinan ini ia memperoleh putera-puteri :
1. Benara, yang mendirikan kampung Benara
2. Kuluhu, yang mendirikan kampung Kuluhu
3. Batu, yang mendirikan kampung Batu
4. Salahan, yang mendirikan kampung Salahan
5. Paropa, yang mendirikan kampung Paropa
6. Liang, yang mendirikan kampung Liang
7. Serta seorang gadis yang kawin dengan Raja Tangging (Tingging)

Demikianlah kesemua kampung-kampung itu menjadi anak beru dari kampung Ketusing. Tiada berapa lama kemudian, terjadilah huru-hara di dataran tinggi Karo. Guru Pa Timpus sangat masygul memikirkan nasib moyangnya Jalipa yang tinggal di Kaban kini. Ketika ia menuju Kaban, sampailah ia di Aji Jahe, yang waktu itu sedang dilanda perang saudara. Ia dapat menyelesaikan huru-hara itu, sehingga tercipta perdamaian dan ia lalu dikawinkan di sana. Dari perkawinan itu, lahirlah dua orang putera bernama Si Janda (menetap di Aji Jahe) dan Si Gelit (Bagelit). Tiada berapa lama, terbit pula huru-hara di kampung Batu Karang. Guru Pa Timpus diminta kesana menyelesaikannya. Setelah diperoleh perdamaian, maka ia dikawinkan di sana. Dari perkawinan itu, lahir pula dua orang putera, yaitu Si Aji (kemudian Perbapaan Perbaji), dan Si Raja Hita, yang kemudian dirajakan di kampung Durian Kerajaan (Langkat Hulu).

Pada suatu ketika ia berada di Aji Jahe, terdengarlah kabar bahwa “ Jawi bangsa Said datang dari negeri Jawa diam di Kota Bangun, dinamakan Datuk Kota Bangun, sangat luar biasa tinggi ilmunya. Guru Pa Timpus beserta pengiring-pengiringnya, lalu pergi ke arah hilir, dan kemudian sampailah mereka di Kuala Sungai Sikambing. Dia menetap di sana selama 3 bulan. Barulah dia pergi menemui ulama Datuk Kota Bangun tadi.

Setelah sama-sama mencoba kepandaian ilmu mistik masing-masing, akhirnya ternyata Datuk tadi lebih unggul, akhirnya Guru Pa Timpus tadi bersedia masuk Islam. Di sini istilahnya “masuk Jawi” = masuk Melayu. Kemudian ia kembali ke gunung dan berunding dengan pengikut-pengikutnya. Di dalam kata perpisahan antara lain disebutnya ;

“… serupa juga aku di sini atau di sana, sebab kita punya tanah sampai ke laut, aku pikir jikalau aku tiada masuk Islam, tentulah tanah kita yang dekat laut diambil oleh
Jawi dari seberang…”

Kemudian Guru Pa Timpus bersama 7 orang besarnya, masuk Islam oleh Datuk Kota Bangun. Di sana mereka berguru agama Islam selama 3 tahun, dan ia lewat di kampung Pulau Berayan. Ketika itu Pulau Berayan masih berpenduduk asal Karo. Dan raja di kampung itu bermarga Tarigan keturunan Panglima Hali (bandingkan Pustaka Tarigan yang menyebut ‘Ale Deli’) yang sudah lama memeluk Islam. Raja ini memiliki seorang putri yang cantik, kepada siapa Guru Pa Timpus jatuh hati. Tetapi gadis ini selalu saja menghinanya dan tidak akan bersuamikan “ Batak masuk Jawi “. Guru Pa Timpus lalu sakit hati, kemudian mengguna-gunai gadis itu sehingga tergila-gila kepadanya. Sehingga akhirnya dapat disembuhkan Pa Timpus sendiri, maka gadis itu dikawinkan ayahnya dengan Guru Pa Timpus. Tiada beberapa lama, Guru Pa Timpus kemudian membuka kampung Medan (Kuta yang ke-12). Sesudah ia siap membuat rumah dan kampung, lalu dari Medan inilah ia memerintah dusun-dusun taklukkannya yang ada di Hulu. Ketika di Medan inilah lahir 2 orang puteranya, masing-masing bernama Hafidz Tua (sebutan Kolok) dan Hafidz Muda (panggilan Kecik).

Saat berumur 7 dan 8 tahun, anak-anak ini berguru kepada Datuk Kota Bangun. Ketika sampai pada masa khatam Al Quran dan mau menyunat rasulkan putera-putera ini, maka dibuatlah pesta yang besar, dengan mengundang kerabat yang dari gunung. Berhubung puteranya Si Bagelit menuntut supaya dia nanti bakal pengganti raja, sedangkan Hafidz Tua dan Hafidz Muda sudah dewasa pula, maka Guru Pa Timpus menentang hal itu. Setelah berunding dengan para pembesar-pembesarnya, lalu 1/3 dari tanah kerajaannya ke arah gunung, yang kemudian disebut dengan Sukapiring, diserahkan kepada Si Bagelit selaku rajanya, dan berpusat di Durian Sukapiring, setelah Si Bagelit di Islamkan oleh Datuk Kota Bangun.

Atas nasihat Datuk Kota Bangun, maka kedua putranya disuruh menghadap kepada Sultan Aceh. Sesampai di sana, oleh Sultan Aceh mereka dianugrahi pangkat panglima dengan alat kebesaran sebuah Gedubang dan mereka lalu dikawinkan di sana. Kemudian mereka pulang ke Medan. Guru Pa Timpus membuat kampung yang baru di Pulau Bening, lalu meninggal dunia, dan dimakamkan di sana. Karena abangnya tidak mau menggantikan posisi ayah mereka menjadi raja, maka Hafidz Muda kemudian yang menjadi raja menggantikan singgasana Guru Pa Timpus.




BAB X

KESUSASTERAAN KARO

Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun, sastra bentuk lisan lebih dikenal dibandingkan tulisan.


BENTUK-BENTUK SASTRA LISAN

Bentuk-Bentuk Sastra Lisan yang Terkenal Pada Masyarakat Karo, antara lain:

Ndungdungen : Dapat disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4 baris bersajak abad. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

Bilang-bilang : Yang berupa ‘dendang duka’, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ibu yang telah meninggal dunia, meratapi idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang.

Cakap Lumat : Atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih, perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain. Cakap lumat biasanya digunakan oleh bujang dan gadis bersahut-sahutan pada masa pacaran dimalam terang bulan; atau oleh orang tua pemuka adat dalam berbagai upacara, misalnya upacara meminang gadis.

Turin-turin : Atau cerita berbentuk prosa, misalnya mengenai asal usul marga, asal-usul kampung, cerita bintang, cerita orang sakti, cerita jenaka dan lain-lain. Biasanya diceritakan oleh orangtua pada malam hari menjelang tidur.

Tabas-tabas : Atau mantra-mantra yang pada umumnya hanya para dukun saja yang mengetahuinya. Konon kabarnya kalau para mantra sudah diketahui orang banyak maka keampuhannya akan hilang.

Kuning-kuningen : Atau ‘teka-teki’ yang dipergunakan oleh anak-anak, pemuda-pemudi,orang dewasa diwaktu senggang sebagai permainan disamping mengasah otak.


BENTUK SASTRA TULIS

Bentuk Sastra Tulis Yang Terkenal Pada Masyarakat Karo, Antara Lain:

Sastra tulis juga dikenal oleh masyarakat Karo. Sastra tulis itu pada itu pada masa dulu dituliskan pada laklak atau kulit kayu dan bambu dengan surat Karo ’Aksara Karo’ yang berupa huruf silabis ( semua huruf atau silabe dasar berbunyi a ) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabe pertama aksara Karo:

Pada tahun 1961 G. Smit menerbitkan sebuah buku yang ditulis dalam aksara Karo, di Leiden Negeri Belanda. Buku tersebut dimaksudkan oleh penyusunnya sebagai bahan bacaan bagi masyarakat Karo, terlebih lebih untuk anak-anak sekolah. Buku bacaan yang setebal 64 halaman itu berjudul “ Surat ogen man guna urang Karo, iapke surat Karo jine” atau ‘kitab bacaan untuk kepentingan orang Karo dengan menakai aksara Karo’ (Voorhoeve,1955:36).
Buku bacaan G. Smit itu adalah buku bacaan pertama yang mempergunakan aksara Karo. Kiranya setengah abad setelah terbitnya buku Smit tersebut, barulah ada usaha dari putra Karo untuk menyusun bahan bacaan untuk anak-anak sekolah di Tanah Karo, termasuk bahan bacaan yang mempergunakan aksara Karo.


KEPUSTAKAAN KARO

Karya-karya tulis mengenai bahasa, sastra, dan budaya Karo memang relatif sedikit sampai kini. Dari karya yang sedikit ini, dapat dibuat pengklasifikasian atas bidang-bidang PERKAMUSAN, KEBAHASAAN, KESUSASTERAAN, dan PENELITIAN.

A. BIDANG PERKAMUSAN

M. Joustra merupakan pelopor dalam penyusunan kamus bahasa Karo. Pada tahun 1907, E.J. Brill menerbitkan kamus karya M. Joustra yang berudul Karo Bataksch Woordenboek (IX + 244 halaman) di Leiden, Negeri Belanda. Dalam kamus ini, setiap artikel atau entry atau kepala ditulis dengan aksara Karo, disertai dengan transkripsinya dalam aksara latin, lalu diberikan arti secara penjelasannya dalam bahasa Belanda.

Empat puluh tahun kemudian, pada tahun 1951 menyusullah J.H Neuman dengan kamusnya KARO BATAKS NEDERLAND WOORDENBOEK ( 344 halaman) diterbitkan oleh Varekamp & Co di Medan. Kamus berbahasa Karo – Belanda ini disusun menurut abjad atau alfabet Latin dan arti, serta penjelasannya diberikan dalam bahasa Belanda.

Pada tahun 1971, Henry Guntur Tarigan menerbitkan dalam berstensil KATA DASAR BAHASA KARO ( IV + 65 halaman) di Bandung. Buku kecil ini mengetengahkan suatu teori untuk menghitung kata dasar suatu bahasa termasuk bahasa Karo. Berdasarkan jumlah suku katanya, kata dasar bahasa Karo dapat dibagi atas ekasuku, dwisuku, trisuku, catursuku, yang masing-masing mempunyai 2,18,16 dan sepuluh tipe pula. Kata dasar dwisuku menduduki tempat teratas bila ditinjau dari segi kwalitas tipe maupun butirnya (18 tipe,5005 butir)

B. BIDANG KEBAHASAAN.

Pada tahun 1992, J.H. Neumann menerbitkan karyanya yang berjudul Schet der Karo Bataks Spraakkunst ‘Sketsa Ilmu Bahasa Batak Karo’ (IV +138 halaman) dalam VBC 63/4 di Welkvreden/’s- Hage. Karya Neumann ini merupakan pelopor dalam bidang kebahasaan Karo.

Pada tahun 1966, Henry Guntur Tarigan menulis kata KATA TUGAS BAHASA KARO (30 halaman) di Bandung. Berturut-turut pada tahun 1972 dan 1975 penulis ini menyelesaikan Fonologi Bahasa Karo (64 halaman) dan Morfologi Bahasa Karo (X+97 halaman) di Bandung.

Pada tahun 1967, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan menulis SINTAKSIS BAHASA KARO ( 97 halaman) di Bandung, yang memperbincangkan frase, klausa, dan kalimat bahasa Karo.


C. BIDANG KESUSASTERAAN

Dalam bidang kesusasteraan pun, nama-nama M Joustra dan J.H Neumann tetap akan dikenang, karena mereka merupakan pelopor dalam pendokumentasian cerita-cerita rakyat di Tanak Karo dari awal abad kedua puluh.

Dalam Mededelingen yang wege het Nederlansche Zendelinggenootschap ( disingkat MNZG) 45 (1901) halaman 91-101, dimuat sebuah artikael M. Joustra yang berjudul: Een en ander uit de litteratur der Karo Bataks, yang mengetengahkan sejumlah teka-teki dalam bahasa Karo beserta terjemahaannya dalam bahasa Belanda.

Iets over Bataksche litteratur adalah judul tulisan M.Joustra yang berturut-turut dimuat dalam MNZG 45(1901) halaman 165-185, MNZG 46 (1902) halaman 357-372, dan MNZG 47 (1903) halaman 140-165. dalam tulisan berturut-turut diketengahkan nyanyian anak-anak, pantun, perumpamaan, dendang duka dan beberapa cerita Karo.

Juga dalam MNZG 46(1902) halaman1-22 dimuat tulisan M. Joustra yang berjudul HET PERSILIHI MBELIN yang memaparkan upacara persilihi atau upacara untuk menggantikan tendi (roh) seseorang dengan gana-gana (patung) agar orang tersebut selamat. Upacara ini dipimpin oleh seorang guru (dukun) yang mempergunakan mantra khusus yang disebut: tabas persilihi mbelin ( mantra patung besar).

Pada tahun 1904, majalah VBC 56/1 memuat karya M. Joustra yang berjudul Karo Bataksche Vertelinggen ( cerita-cerita Batak Karo ) yang agak panjang (123 halaman). Tulisan tersebut memuat empat buah cerita Karo, yaitu si Laga Man, Ai Adji Deonda Katekoetan, Sarindoe Tubuh dan Raja Ketengahen. Setiap teks cerita Karo disertai terjemahaan dan penjelasan dalam bahasa Belanda.

Toeri-toeri Karo adalah karya M. Joustra yang terdiri dari dua jilid, diterbitkan oleh S.C. van Doesburgh di leiden. Jilid pertama terbit pada tahun 1914 yang memuat tiga buah cerita: Beru Patimar, Sibayak kuta buluh, dan simandupa (46 halaman). Jilid kedua terbit pada tahun 1918 dan hanya memuat sebuah cerita yang berjudul: Teori-teori anak Karo Mergana, Sibayak Baroes Jahe (52 halaman). Keempat cerita itu tertulis dalam bahasa Karo tanpa terjemahan dalam bahasa Belanda.

Demikian telah kami utarakan beberapa karya M.Joustra dalam bidang kesusasteraan Karo. Sekarang kita beralih kepada J.H.Neumann.

Dalam MNZG 46(1902) halaman 23-39 dimuat karya J.H.Neumann yang berjudul De Begoe in de godsdienstige begrippen der Karo – Bataks in de Doesoen (Begu dalam pengertian Ketuhanan orang Batak Karo di dusun). Dalam tulisan di atas Neubegu ganjang, begu menggep, begu sidangbela/begu mentas, begu jabu, begu naga lumayang, begu mate sada wari, begu bicara guru, begu tungkup.

Dalam MNZG 48(1904) halaman 101-145 dapat dibaca tulisan J.H. neumann yang berjudul De Tendi in verband metsi dayang. Dalam tulisan ini dibicarakan bagaimana hubungan tendi dengan si Dayang yang melambangkan kecantikan kehalusan budi seorang wanita. Menurut guru, ada tiga jenis tendi yang memiliki nama sendiri, yaitu : Si Junjung, Si Galimang, Si Ndakara, SiNdakiri, Si Berka Kondang, Si Berkah Kasih, Si Olah Lapat/ Si Lindung Bulan. Dan untuk menghormati/memanggil ada beberapa cara, yaitu: ngicik tendi, ngkap tendi, raleng tendi, ngkirep tendi, manggil tendi, ndilo tendi, dan upacara mengusir/mengenyahkan tendi dan roh disebut: ngeleka tendi. Baik dalam upacara memanggil atau mengusir roh itu sang dukun mempergunakan tabas atau mantra.

Ben en ander aangaande de Karo-Bataks adalah judul karangan JH.Neumann yang dimuat berturut-turut secara bersambung dalam MNZG 48 (1904) halaman 361-377;MNZG 49(1905) halaman 54-67; MNZG 50(1906) halaman 26-40; MNZG 51(1907) halaman 347-364. dalam tulisan ini JH.Neumann mengemukakan serba serbi mengenai budaya Karo, antara lain: persebahan pada nenek moyang, tafsir mimpi, naga lumayang,hari dan bulan,masalah tapa, masalah nasib sial,membawa bayi kepancuran, pawang lebah,matahari,bulan dan bintang, halilintar,memanggil roh,mantra, dan permainan anak-anak. Disamping bahasa Karo disertakan pula terjemahan dan keterangan dalam bahasa Belanda.

Untuk keperluan anak-anak sekolah ditanah Karo, tempat pendeta Neumann bertugas sebagai pengembala domba-domba Tuhan, beliau menyusun pula dua jilid buku bacaan yang bejudul ERBAGE BAGE TEORITORIN. Jilid pertama (27 halaman) terbit pada tahun 1907 di Rotterdam,negeri Belanda;jilid (kedua 35 halaman) terbit pada tahun 1911, di lagoeboti,Tapanuli. Jilid kedua berisi 12 cerita. Semua cerita ini tertulis dalam bahasa Karo tanpa terjemahan, ada yang bersal dari cerita rakyat Karo asli dan ada juga yang berasal dari cerita Melau yang diterjemahakan kedalam bahasa Karo.

Dalam tulisannya yang berjudul “Bijdrage tot de Genschiedenis der Karo Bataktammen(I)” yang dimuat dalam BKI 82 (1926)halaman 1-36, JH.Neumann mengemukakan sejarah asal – usul suku batak Karo, dan juga asal usul setiap marga yang terdapat pada masyarakat Karo ( Karo-karo, Ginting, Peranginangin, Sembiring,Tarigan). Terjemahannya dalam bahasa Indonesia telah diterbitkan oleh LIPI Jakarta.

Dalam Bijdrage tot de Genschiedenis der Karo Bataktammen (II) dalam BKI 83 (1927 ) halaman 162-180, J.H.Neumann menyajikan Pustaka Kenbaren beserta terjemahan dan penjelasan dalam bahasa Belanda. Dalam tulisan ini dikatakan bahwa asal usul merga Kembaren adalah dari pagarruyung, minangkabau.

Dalam Feesbundel BKI vol.II (1929) halaman 215-222 dan dalam TGB & 3 (1933), halaman 184-215, dimuat karya J.H.neumann mengenai bilang-bilang adalah karya sastra berupa prosa berirama yang penuh dengan kata-kata kias, pepatah-pepitih, pantun, serta bahasa halus lainnya, yang mengandung dendang duka seseorang akan kematian, perpisahan dengan orang yang dikasihi, ataupun pengalaman serta penderitaan dalam perantauan.

Dalam TBG 70 (1930 ) halaman1-47, J.H Neumann muncul dengan karyanya “ Poestaka Ginting’ yang menceritakan asal usul orang Karo yang bermarga ginting yang datang dari Kalasen melalui Tinjo ke Tanah Karo, serta berkembang biak menjadi ‘ Siwah Sada Ginting’ ( sembilan putra dan seorang putri Ginting). Di samping teks disertakan pula terjemahannya dan penjelasan dalam bahasa Belanda.

‘Asnteekeningen over de Karo Bataks’ adalah tulisan J.H. Neumann yang dimuat dalam TBG 79 (1939) halaman 529-571. dalam tulisan tersebut pendeta Neumann mengemukakan beberapa catatan mengenai aneka budaya Karo, antara lain:

a) Sumpah serapah kepada orang yang sangat dibenci
b) Ketakutan dengan halilintar
c) Kematian dan penguburan mayat
d) Pacaran dan perkawinan
e) Merga, beru, dan bebere

Walaupun tak seproduktif M.Joustra dan J.H Neumann, masih ada penulis yang menulis hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan sastra dan budaya Karo, antara lain Dr.R.Romer dan H.Guillaume.

Dalam TBG 50 (1908) halaman 205-287 dimuat tulisan DR.R.Romer yang berjudul ‘Bijdrage tot de Geneeskunst der Karo-Bataks’. Sebagai seorang Doktor yang bertugas pada Deli Maatschappij, dia mengakui akan adanya obat-obat tradisionil Karo, bahan-bahannya, cara membuatnya, dan cara mengobatkannya. Nama-nama penyakit, nama-nama obat tradisionil, bahan-bahan ramuannya ditulis baik dalam bahasa Karo dan bahasa Melayu, bahkan dimana perlu disertakan pula istilah-istilahnya dalam bahasa Latin. Keterangan-katerangannya diberikan dalam bahasa Belanda.

Dalam MNZG 47 (1903 )halaman 1-14 dimuat tulisan H. Guillaume yang berjudul’Beschrijering van het tandenveilen ( erkiker ) bij de Karo-Bataks. Dalam tulisan tersebut, Guillaume memaparkan sebuah upacara adat, yaitu upacara pengikiran/pemotongan gigi pada masyarakat Karo di desa Bukum, Karo Jahe. Upacara erkiker ini dipimpin oleh seorang dukun yang mengucapkan mantra khusus yaitu tabas erkiker. Teks tabas erkiker ini disertai pula dengan terjemahan dan penjelasannya dalam bahasa Belanda.

Segala bahan di atas yang merupakan karya orang Belanda yang memang telah berusia relatif lama’ dan kini hanya terdapat pada orang-orang tertentu dan perpustakaan-perpustakaan tertentu saja, antara lain perpustakaan KITLV di Leiden, Perpustakaan Rumah Zending di Oegstgeest Negeri Belanda. Dari kedua perpustakaan inilah penulis memperoleh serta mengumpulkan bahan-bahan berharga di atas pada tahun 1971-1973, waktu mengikuti kuliah pasca sarjana linguistik di Universitas Leiden.

Demikianlah telah kita utarakan karya-karya tulis beberapa orang Belanda mengenai bahasa dan budaya Karo. Berikut ini akan kita perbincangkan pula beberapa karya tulis putera-puteri Karo mengenai Bahasa, sastra dan budaya mereka sendiri.

Pada tahun 1965, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘nurenure di Karo’ (85 halaman) di bandung, yang memuat percakapan dalam cakap lumat ‘bahasa halus’ antara bujang dan gadis, mulai dari pertemuan pertama, masa pacaran, sampai perkawinan. Teks bahasa Karo disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1976 itu juga, Jaman Tarigan telah menyelesaikan penyusunan Pantun Karo: Anak Perana ras Singuda-nguda yang diterbitkan oleh Percetakan Toko Buku Mbelin Gunana di Kabanjahe ( 145 untai pantun )

Sebuah antologi Puisi Karo (122 halaman ) diterbitkan oleh Henry Guntur Tarigan pada tahun 1972 di Bandung. Buku ini berisi 17 karya penyair Karo, yang pernah dimuat dalam beberapa majalah, terutama majalah ‘Suara Pemuda’ yang terbit di Medan pada tahun lima puluhan. Teks bahasa Karo disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh penyusun.

Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan telah menyusun sebuah naskah ‘Tabas-tabas Karo’ ( 40 halaman). Teks bahasa Karo disertai terjemahan bahasa Indonesia.

Pada tahun 1960, Masri Singarimbun menampilkan karyanya ‘1000 Perumpamaan Karo’ yang diterbitkan oleh CV. Ulih Saber di Medan. Suatu usaha yang amat berguna bagi masyarakat Karo serta pendokumentasian bahasa dan sastra Karo. Sayang teks perumpamaan Karo itu tidak disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan penyebarluasannya terbatas pada masyarakat Karo serta orang-orang yang mengerti bahasa Karo saja. Tebal buku 175 halaman.

Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan telah menyiapkan naskah yang memuat kumpulan perumpamaan Karo di Bandung, yang diperoleh dari sumber tertulis di Leiden dan Oegstgeest, dan sumber lain di Indonesia. Setiap perumpamaan Karo disertai terjemahan dan arti kiasannya dalam bahasa Indonesia ( 140 halaman ). Pada tahun ini juga Henry Guntur Tarigan telah menyiapkan naskah ‘Pantengan Karo’ ( 100 halaman ) dan ‘ Kuning-kuningen Karo’ (100 halaman ). Teks bahasa Karo disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Begitu pula naskah ‘Turin-turin Karo’ (500 halaman) telah selesai pula di Bandung pada tahun 1977. dalam naskah tersebut, Henry Guntur Tarigan menghimpun 25 buah cerita Rakyat Karo beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Penerbit Yayasan Kobe di Delitua Medan pada tahun 1975 telah menerbitkan cerita ‘Pawang Ternalem’( dalam dua jilid ).

Toko Bukit pada tahun 1977 menerbitkan karya Ngukumi Barus dengan judul ‘Guru Pertawar Reme ras Perdagang Ganggang’ ( 24 halaman ) dalam bahasa Karo tanpa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dan pada tahun 1978 Toko Bukit pun menerbitkan ‘ Sekelumit Dari Cerita-cerita Karo’ (30 halaman) yang dikumpulkan oleh S.P. Keliat.

Pada tahun 1972 di Bandung, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan telah menerbitkan dua jilid ‘ Syair Lagu-lagu Karo’, masing-masing 105 halaman dan 110 halaman yang masing-masing memuat 41 dan 45 teks syair lagu Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1972, Rahmat Tarigan tampil dengan karyanya ‘Tambaten Pusuh’ (108 halaman) yang merupakan kumpulan 4 cerita pendek dan 26 puisi. Teks bahasa Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘Percikan Budaya Karo’ yang merupakan kumpulan karangan mengenai budaya Karo yang pernah dimuat dalam beberapa majalah di Jakarta, Bandung, Jogya (229 halaman ).

Pada awal tahun 1978, Henry Guntur Tarigan telah pula menyelesaikan naskah ‘Tendi Nipi’ Tafsir Mimpi, (100 halaman). Setiap teks mimpi disertai terjemahan dan penjelasan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1952, Balai Pustaka menerbitkan karya P. Tamboen ‘Adat Istiadat Karo’ (206). Buku ini merupakan pelopor mengenai adat istiadat Karo karya putra Karo sendiri. Buku ini terdiri atas 11 bab, yang berturut-turut memaparkan mengenai letak geografis, sejarah penduduk, pemerintahan, pengadilan, keuangan, persawahan, pengajaran, kesehatan, bank anak negeri.

Pada tahun 1958 Toko Bukit menerbitkan “Isi Kongres 1958” yang berjudul Sejarah Adat Istiadat dan Tata Susunan Rakyat Karo (134 halaman). Dalam Kongres Kebudayaan Karo yang diketuai oleh Mr. Roga Ginting terdapat seksi adat yang terdiri atas 4 subseksi, yaitu :

1. Sejarah Adat/Tata Susunan Rakyat
2. Adat Kekeluargaan
3. Hukum Adat Tanah
4. Hukum Perselisihan.

Pada tahun 1978, Toko Bukit menerbitkan sebuah brosur karya seorang pensiunan ABRI, Jaman Tarigan yang berjudul “Gelemen Merga Silima, Iket Sitelu, Tutur Siwaluh Kalak Karo” (25 halaman), yang memaparkan apa yang disebut ‘Merga Silima’ (Karokaro, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan), apa yang disebut ‘Iket Sitelu’ (senina, kalimbubu, anak beru) dan apa yang disebut ‘Tutur Siwaluh’ (sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siperibanen, anak beru, anak beru menteri, kalimbubu, puang kalimbubu).

Pada tahun 1976 itu juga, Toko Bukit menerbitkan brosur lain, yaitu karya Raja Malem Bukit yang berjudul “Peranan Marga Dalam Perkawinan Adat Karo” (30 halaman). Kedua karya di atas, yaitu karya Jaman Tarigan dan Raja Malem Bukit dapat saling mengisi, saling melengkapi satu sama lain.

Pada awal tahun 1977, Palestin Sitepu muncul dengan karyanya yang berjudul “Kesenian Tradisional Karo” (58 halaman) di Medan. Buku ini terdiri atas 14 bab yang berturut-turut membicarakan : seni musik Karo tradisionil, pola teori Karo tradisionil, peraturan-peraturan gendang, upacara kematian, para seniman tradisionil Karo, ose-ose (busana tradisional Karo), teori jenis hiburan, guro-guro aron, nure-nure, upacara-upacara religius, upacara berhubungan dengan adat-istiadat, rumah adat Karo, merga silima, pentahbisan merga kepada orang bukan orang Karo.

Pada tahun 1983, Moderamen GBKP mengadakan Seminar Adat Istiadat Karo di Berastagi dan hasilnya telah terekam dalam buku ‘Adat Istiadat Karo’ yang merupakan kumpulan makalah (+ 200 halaman) yang terdiri dari 5 bab, yaitu:


I. Adat Istiadat Batak Karo ( 20 halaman )
II. Perjabun ( 120 halaman )
III. Majekken Rumah ( 30 halaman )
IV. Turi-turin kerna Peradaten Kalak Mate ( 28 halaman )
V. Kesimpulan dan Saran ( 2 halaman )

Disela-sela kesibukan mengajar, menatar, berseminar, dan menulis buku, pada masa-masa akhir ini Henry Guntur Tarigan telah menyiapkan naskah (teks, terjemahan, dan penjelasan ) :
I. Turi-turin Beru Ginting Sope Mbelin ( 200 halaman )
II. Turi-turin Tangtung Batu ( 150 halaman )
III. Turi-turin si Katak-katak ( 100 halaman )
IV. Puisi Jaga Depari ( 320 halaman )


D. BIDANG PENELITIAN

Penelitian terhadap budaya Karo yang dilakukan para sarjana dalam dan luar negeri cukup menggembirakan, bahkan telah muncul beberapa ‘disertasi’ mengenai Batak Karo. Hal ini menandakan bahwa perhatian kalangan ilmuwan di dalam dan luar negeri sudah bertambah meningkat akan budaya dan bahasa Karo.

Pada tahun 1965, Masri Singarimbun menggondol gelar doktor dengan disertasinya yang berjudul Kinship and Affinal Relations among the Karo of North Sumatera (Kekerabatan dan hubungan Kesemendaan pada orang Karo di Sumatera Utara ) pada Australian National University di Canberra (357 halaman ). Pengumpulan data dilakukan oleh Masri Singarimbun dan istrinya di Kuta Gember dan Liren dari September 1960 sampai April 1962. Setelah direvisi, diterbitkan dengan judul : Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak pada tahun 1975 oleh University of California Press, Berkeley (246 halaman ). Daftar isi buku ini adalah sebagai berikut :

Pengantar : Tanah Karo dan Rakyatnya.
Kampung
Keluarga Karo
Rumah Adat
Kelompok Keturunan
Hubungan Anakberu – Kalimbubu, I
Hubungan Anakberu – Kalimbubu, II
Perkawinan
Ringkasan

Apendiks 1 : Mite Siwah Sada Ginting, suatu singkatan.
Apendiks 2 : Klasifikasi Kekerabatan Karo
Apendiks 3 :Analisis Semantik Struktural daripada Sistem Klasifikasi kekerabatan Karo. M oleh : H .W. Scheffler.

Pada tahun 1976, Rita Smith Kipp memperoleh gelar doktor dengan disertasinya yang berjudul : The Ideology of Kinship in Karo Batak Ritual (Ideologi Kekerabatan dalam Ritual Batak Karo ) pada University of Pittsburgh, USA ( 296 halaman ). Daftar isinya adalah sebagai berikut :
Pengantar
Tanah Karo dan Kampung Payung
Kekerabatan Karo
Agama dan Ritual
Perkawinan
Penguburan
Kesimpulan.
Pada tahun 1978, suami Rita Kipp yang bernama Richard Dean Kipp berhasil menggondol gelar doktor dengan disertasinya yang berjudul : The Social Organization of Karo Batak Rural Migration ( Organisasi Sosial Migrasi Pedesaan pada Batak Karo ) pada University of Pittsburgh, USA (230 halaman ). Suami isteri Kipp berdiam di kampung Payung untuk pengumpulan data disertasi mereka. Daftar isi disertasi itu adalah sebagai berikut :

Pengantar
Latar Belakang Sejarah Migrasi Pedesaan
Tanah Karo dan Lingkungan Pedesaan
Organisasi Sosial
Studi Kasus Seseorang Migran Pedesaan
Migrasi ke Sungai Netek
Migrasi ke Sungai Beras Sekata
Kesimpulan ( Singarimbun, 1980 ; 110 – 11 )

Pada tahun 1978, Payung Bangun juga menggondol gelar doktor dengan disertasinya yang berkenaan dengan Karo. Sayang, saya belum memperoleh keterangan mengenai hal ini. Lain kali akan saya lengkapi setelah bertemu dengan pengarangnya, yang nota bene teman seangkatan saya.

Pada tahun 1981, suami isteri H. Slaats dan K. Portier dari negeri Belanda menggondol gelar doktor dengan disertasi mereka yang berjudul : Crodenrecht en Zijn Verwekelijking in de Karo Batakse Dorpsamenleving dari Universitas Nijmegen dan merupakan Publicaties over Volksrecht, No. IX. Sayang, saya belum memperoleh penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dari mereka. Lain kali saya berusaha memperoleh karya tersebut dari pengarangya.

Artikel-artikel suami-istri Kipp dan suami-istri Slaats-Portier mengenai Karo, dapat juga kita baca dalam ‘Beyond Samosir’ : Recent Studies of the Batak People of Sumatera, yang disunting oleh suami-istri Kipp dan diterbitkan oleh Ohio University Center for International Studies, Southeast Asia Program, Athens, Ohio 1983, terlebih-lebih halaman 125 – 155.

Pada pertengahan tahun 1978, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan mengadakan penelitian mengenai struktur bahasa Karo yang disponsori oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa. Sebagai hasilnya telah terbit pada tahun 1979, BAHASA KARO ( 225 halaman ) dengan daftar isi sebagai berikut :

Pendahuluan
Fonologi
Morfologi
Sintaksis

Pada pertengahan tahun 1980, Henry Guntur Tarigan dan kawan-kawan mengadakan penelitian mengenai sastra lisan Karo yang disponsori oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sebagai hasilnya telah selesai naskah ‘Sastra Lisan Karo’ (580 halaman ) dengan daftar isi sebagai berikut :

Pendahuluan
Tinjauan Terhadap Sastra Lisan Karo
Cerita, Terjemahan, dan Keterangan

Buku ini menganalisa 32 buah buku cerita atau Turi-turin Karo. Hanya dengan memiliki tata bahasa baku bahasa Karo lah kita semua dapat menjunjung dan melestarikan cir-ciri khas masyarakat kita, masyarakat Karo, yaitu:

A. Dalikan si telu : a. Senina
b. Kalimbubu
c. Anak beru

B. Merga si Lima : a. Karo-karo
b. Ginting
c. Perangin-angin
d. Sembiring
e. Tarigan

C. Tutur si Waluh : a. Sembuyak
b. Senina
c. Senina sipemeren
d. Senina siparebanen
e. Anak beru
f. Anak beru menteri
g. Kalimbubu
h. Puang kalimbubu.

Berbahagialah orang yang dapat menghargai, apalagi menerapkan bahasa dan budayanya dengan baik dan benar.

APA SUMBANGANKU TERHADAP BUDAYA KARO

Jangan tanya “apa yang dapat disumbangkan oleh budaya Karo terhadapku” tetapi tanyakanlah “apa yang dapat kusumbangkan bagi budaya Karo”.

Pertanyaan diatas khusus ditujukan kepada para mahasiswa dan terutama sekali kepada para sarjana dan cendikiawan Karo. Kalau direnungkan dalam-dalam, jelas pertanyaan itu “menggelitik” dan “merangsang”.

Mungkin ada orang yang menjawab dengan pertanyaan “apa lagi yang dapat saya perbuat bagi budaya Karo”. Aduh, masih banyak, masih sangat banyak bidang-bidang yang menanti uluran tangan anda, bahkan ada yang sangat rawan, kalau tidak segara ditangani akan punah dan akan membuat kita menyesal meratapi nasib karena kita tidak dapat berpacu dengan sang waktu. Apakah kita rela menyesali kelalaian kita dan hanya mengeluh karena “tading kune-kune nari kal ngenca”? saya yakin tidak!!.

Agar para mahasiswa mendapat gambaran mengenai hal-hal apa saja yang dapat disumbangkan bagi kejayaan dan kelestarian budaya Karo, marilah kita telaah kehidupan rakyat atau folklife Karo.

Kehidupan rakyat mencakup lima bagian utama, dalam setiap bagian mempunyai, memiliki komponen-komponen tertentu pula, sebagai berikut ini:



Telaah Kehidupan Rakyat Karo

A.Foklore Lisan : 1. cerita rakyat
2. puisi rakyat
3. epik rakyat
4. peribahasa rakyat
5. teka-teki rakyat
6. pidato rakyat

B. Kebiasaan Rakyat Karo : 7. pesta perayaan rakyat
8. rekreasi, permainan rakyat
9. obat-obat rakyat
10. agama / kepercayaan rakyat

C. Kebudayaan Material : 11. keterampilan rakyat
12. seni rupa rakyat
13. arsitektur rakyat
14. busana rakyat
15. masakan rakyat

D. Seni Rakyat : 16. drama rakyat
17. musik rakyat
18. tarian rakyat
(disarikan dari : Dorson, 1972 ).

Demikianlah, dari segi “kehidupan rakyat” Karo saja terdapat 18 aspek yang perlu digarap. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah : “siapa yang akan menggarap lahan-lahan yang luas terbentang itu?”. Jawabnya sudah tegas : “kita putra-putri Karo, kita para mahasiswa dan para sarjana Karo yang harus menggarap lahan-lahan ‘kehidupan rakyat’ Karo tersebut’.

Marilah kita menyingsingkan lengan baju, memilih bidang yang sesuai dengan diri masing-masing; kita membuat skripsi, tesis, disertasi, paper, makalah, tulisan mengenai budaya Karo. Kalau hal ini kita sadari dan melaksanakannya dengan sepenuh hati, barulah SEMINAR BUDAYA KARO yang kita adakan ini ada manfaatnya, kalau tidak, percuma saja membuang-buang waktu, daya dan dana yang begitu banyak. Malu dong!!.

Sebagai akhir dari pembicaraan ini, saya menghimbau putra-putri Karo, para mahasiswa Karo, para sarjana Karo, untuk bersama-sama melestarikan budaya Karo kebanggaan kita semua, dengan berkarya tulis. Khusus untuk para sarjana Karo saya mengajak anda semua bergotong-royong membina, mengembangkan karya Karo sebagai salah satu aspek kebudayaan Nasional kita. Maaf, saya mengingatkan anda kembali :

“gajah mati meninggalkan gading,
sarjana mati meninggalkan karya”.

Mengenai bentuk sastra Karo, Tarigan ( 1979) membaginya sebagai berikut:

1. Ndungndungen, dapat disamakan dengan pantun biasanya terdiri dari 4 baris bersajak dan dua baris terakhir merupakan isi. Setiap baris umumnya terdiri atas tiga atau empat kata dan setiap baris mempunyai suku kata 7-10.
2. Bilang-bilang, yang berupa dendang duka, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu yang telah meninggal dunia, meratapi kekasih idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara kerantau orang.
3. Cakap lumat atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih, perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain.
4. Turin-turin atau ‘cerita’ yang berbentuk prosa, misalnya mengenai asal usul merga, asal usul kampung, cerita binatang, cerita orang-orang sakti, cerita jenaka dan lain-lain.
Biasanya diceritakan oleh orang tua-tua pada malam hari menjelang tidur.
5. Tabas atau ‘mantra’; umumnya hanya dukun yang mengetahuinya. Konon kabarnya kalau mantra itu sudah diketahui oleh orang banyak maka keampuhannya akan hilang.

Dari apa yang dikemukakan oleh Tarigan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut bentuknya, sastra lisan Karo itu dapat dibedakan atas tiga bentuk yaitu:

1. bentuk puisi
2. bentuk prosa liris dan
3. bentuk prosa

yang termasuk kedalam bentuk puisi ialah
1. ndungndungen
2. cakap lumat
3. tabas

yang termasuk kedalam bentuk prosa liris yaitu: bilang-bilang

yang termasuk ke dalam bentuk prosa ialah turin-turin.


1. BENTUK PUISI

Di muka telah dijelaskan bahwa yang termasuk kedalam bentuk puisi ada tiga yaitu :

1. ndungndungen
2. cakap lumat dan
3. tabas

Berikut ini akan diterangkan masing-masing contohnya:

1.1. NDUNGNDUNGEN ( PANTUN )

Contoh:
Gundera salak gundera : Bawang salak bawang
Buluh belin kubenteri : Bambu besar kulempari
Kutera kalak kutera : Bagaimana orang bagaimana
Beltekku mbelin kubesuri : Perutku besar kukenyangi

Mejile tuhu bunga ndapdap : Sungguh cantik bunga ndapdap
Rupa megara la erbau : Warna merah tak berbau
Mejile tuhu rupandu itatap : Sungguh cantik wajahmu dipandang
Tapi pacik kena erlagu : tetapi busuk tingkah lakumu.
Rirang-rirang gumpari : nama tumbuh-tubuhan
Rirang meruah-ruah : Rirang tercabut-cabut
Sirang gia kita pagi : Berpisahpun kita nanti
Gelah sirang mejuah-juah : Asal dalam keadaan sehat-sehat.


1.2. CAKAP LUMAT ( BAHASA HALUS )

Cakap lumat ( bahasa halus ) ini dapat dibedakan atas:

1. Bahasa kias
2. Pepatah-pepitih
3. Perumpamaan
4. Pantun dan
5. Teka-teki ( sikuning-kuningan ).

Di bawah ini akan diterangkan contoh masing-masing cakap lumat ( bahasa halus ) ini.

a. Bahasa Kias
Contoh: Biang nangko beltu-beltu, kambing ipekpeki
Artinya: Anjing yang mencuri daging, kambing yang dipukuli

Dikiaskan kepada orang yang menghukum orang yang tidak bersalah, lain yang bersalah, lain yang mendapat hukuman.

Contoh : Pengindo sikaciwer, adi udan erkubang-kubang adi lego rabu-abu.
Artinya : Nasib kencur, bila hujan berkubang-kubang, bila kemarau berabu-abu.

Dikiaskan kepada orang yang selalu mendapat kesusahan (pikiran kusut).

b. Pepatah-petitih
contoh : Adi pang ridi ula mbiar litap
Artinya : kalau berani mandi jangan takut basah

Maksudnya : kalau berani melakukan sesuatu perbuatan harus berani pula menanggung resikonya.

Contoh : Siksik lebe maka tindes
Artinya : Dicari terlebih dahulu baru dibunuh

Maksudnya : pikirkan terlebih dahulu baru diambil keputusan.


c. Perumpamaan

contoh : Bagi nimai buah parimbalang, erbunga pe lang apai ka erbuah.
Artinya : Seperti menanti buah parimbalang, berbunga pun tidak konon pula berbuah.

Diumpamakan kepada orang yang mengharapkan sesuatu yang tak mungkin diperoleh.


Contoh : Bagi kurmak sampe rakit, nggeluh erpala-pala mate terbiar-biar.
Artinya : Seperti kerakap tumbuh di batu hidup segan mati tak mau.

Diumpamakan kepada yang susah penghidupannya, mungkin disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, badan sudah kurus, harta sudah habis, tetapi ia tak mati-mati.

d. Pantun

Contoh : Tah kurung tah labang
Tah surung tah lahang

Artinya : Entah jangkrik tanah
Entah jangkrik ilalang
Entah jadi entah tidak

Contoh : Sere-sere sala gundi
Siarah lebe arah pudi

Artinya : Sere-sere sala gundi
Yang di depan menjadi ke belakang.


e. Teka-teki ( Sikuning-kuningen )

contoh : Tulihken reh dohna. Kai?
Artinya : Semakin dilihat kebelakang semakin jauh, apakah itu ?
Jawabnya : cuping ‘ Telinga’

Contoh : Ipake reh baruna. Kai ?
Artinya : Dipakai bertambah baru, Apakah itu ?
Jawabnya : Dalan ‘ Jalan’

Contoh : Bide kalak i idah bidente lang. kai ?
Artinya : Pagar orang kita lihat pagar kita tidak. Apakah itu ?
Jawabnya : Ipen ‘ gigi’

Contoh : Elah man ndelis. Kai ?
Artinya : Selesai makan gantung diri, apakah itu ?
Jawabnya : ukat ‘ sendok nasi’

Contoh : Tawa kenca ia naktak ipenna. Kai ?
Artinya : bila tertawa jatuh giginya. Apakah itu ?
Jawabnya : Jantung galuh ‘ jantung pisang’

Contoh : Elah kenca man, kesip beltekna. Kai ?
Artinya : Setelah selesai makan kempis perutnya. Apakah itu ?
Jawabnya : Sumpit nakan ‘sumpit nasi’




Contoh : Nguda-ngudana erlayam pukul
Tua-tuana narsak buk. Kai ?
Artinya : Pada waktu mudanya bersanggul
Pada waktu tuanya berurai rambut. Apakah itu ?
Jawabnya : Ersam ‘pakis’

Contoh : Nguda-ngudana erbaju ratah
Tua-tuana erbaju gara. Kai ?
Artinya : Pada waktu muda berbaju hitam
Pada waktu tuanya berbaju merah. Apakah itu ?
Jawabnya : Lacina ‘cabai’

Contoh : Adi siinget la sibaba
Adi la siinget sibaba. Kai ?
Artinya : Kalau kita ingat tidak kita bawa
Kalau tidak ingat kita bawa. Apakah itu ?
Jawabnya : Kacileket ‘ sejenis rumput yang bijinya lengket dibaju bila disenggol baju
( rumput Genit )

Contoh : Adi itaka ia jumpa kuling
Adi itaka kuling jumpa tulan
Adi itaka tulan jumpa daging
Adi itaka daging jumpa lau. Kai ?
Artinya : kalau ia dibelah jumpa kulit
Kalau kulit dibelah jumpa tulang
Kalau daging dibelah jumpa air. Apakah itu?
Jawabnya : Tualah ‘kelapa’


1.3. TABAS ATAU MANTRA

Sastra lisan Karo yang berbentuk tabas atau mantra ini terbatas yang mengetahui dan menggunakannya. Hanya para datu atau dukun yang biasanya yang bisa mengucapkan tabas ini pada waktu mengobati orang sakit. Sebelum obat yang di pakai untuk mengobati orang sakit itu itabasi ( dimantrai ) baru kemudian obat itu dimakan ( diobatkan ) kepada orang yang sakit. Biasanya dimulai dengan kata-kata : Toron kaci-kaci ‘turunlah dewa-dewa’ dan seterusnya sebelum pengaruh Islam masuk. Setelah pengaruh Islam masuk ke Karo, maka tabas itu ada pula yang dimulai denga kata – kata Arab yaitu sebagai berikut :

Bismillah irohmani irohim ‘dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang’.

Begitu sulitnya memperoleh tabas ini, oleh sebab itu, peneliti hanya berhasil memperoleh contohnya yang telah kena pengaruh Islam. Mungkin pada kesempatan lain tabas yang kena pengaruh Hindu akan terpenuhi. Contoh Tabas yang telah kena pengaruh Islam, Kun payakun, Kun kata Allah paya kun kata Muhammad, hukum kata Ali. Nuri pa Tujum kabul aku perkasih, durma si Alam keturunan Nabi Ullah, nasa ula aku terukum si dua mata sah mmat si dua mata.
Mmat, mmat, mmat,mmat, mmat,mmat,mmat.

Artinya : Tunduk, supaya tunduk, tunduk kata Allah supaya tunduk kata Muhammad. Memnohon pak Tujum supaya dikabulkan memakai Pekasih, pekasih si alam. Keturunan Nabi Allah,agar aku tidak di hukum si mata dua, Diam,diam,diam,diam,diam,diam,diam.


2. BENTUK PROSA LIRIS

Sastra lisan Karo yang berbentuk prosa lisan liris hanya ada satu yang disebut bilang-bilang. Bilang-bilang ini berbentuk prosa, tetapi terikat pada lagu karena bilang-bilang ini biasanya didendangkan dengan ratapan atau ditiup melalui seruling bambu oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa. Apakah ditinggal oleh kekasih idaman hati, atau karena ditinggal oleh ibu yang meninggal dunia, atau karena penderitaan yang dialami di rantau, atau dikucilkan dari masyarakat, yang melanggar adat.

Contoh: Entah nidarami kin pe jelma ibabo taneh mekapal enda ni taruh langit meganjang enda entah di langir nge bagi ajangku enda sera suina nggeluh. Di turina ateku mesui kidah bagi ranting taman ku para nge kidah rusur. Emaka lanai bo kueteh nurikenca de suntuk nari nge kuidak kerina te mesui. Man ukurenku, onande beru Tariganku. I je makana entah nidarami kal pe jelma perliah si la lit nge bagi turina ajang mama nak Karo-karo mergana endah sera suine. Apai nge dah kam la bage ningku, onande bibingku karina. Enggo kuidah ajangku endah bagi sumpamana jelang kedataren kutera kin nge turinna jelang kedataren aji nindu gia min. o turang beru Sembiringku. Di turinna jalang kedataran sekali kelajangen pe labo lit singembarisa amina sekali penggel pe. Labo kenan tambaren sekali kedabuhen gelap auri pe la lit sipekarangsa amina sekali bene pe la lit sidaram-daram, o turang. E kal me turina ajang anak karo-karo mergana enda, o enda beru Sembiring. E makana nidarami kin pe jelma perliah si la lit nge bagi ajangku enda sera suina nggeluh. Ngkai maka la bage ningku, enggo kalajangku enda bagi sarintantang ndabuh ku namo, anima ndabuh pe sea tama buena, amina la ndabuh pe sea tama urakna, o me taktak cibal geluahku ras adumku o nandengku kerina. Emakana labo lit gunan turiken ningku.


3. BENTUK PROSA

Sastra lisan Karo yang berbentuk prosa pun hanya ada satu, yang disebut Turin-turin. Turin-turin atau cerita ini ada bermacam-macam. Menurut Tarigan ( 1979:9 ) Turin-turin atau cerita yang berbentuk prosa ini dibedakan atas :

1. cerita mengenai asal-usul merga
2. cerita mengenai asal usul kampung
3. cerita binatang
4. cerita orang-orang sakti
5. cerita jenaka dan lain-lain.

Yang dinamakan sastra lisan karo adalah bentuk penuturan cerita yang disebarkan dan diturunkan secara lisan ( dari mulut ke mulut ). Berdasarkan isi cerita, jenis sastra lisan Karo dapat di bedakan atas :

1. mite
2. legenda
3. dongeng
Mite adalah cerita yang benar-benar dianggap terjadi dan dianggap sakral oleh pemilik cerita. Mite mengandung tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya dunia lain, dan masa terjadinya sudah jauh di zaman purba.

Legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite, yaitu benar-benar dianggap terjadi, tetapi tidak dianggap sakral. Tokoh legenda adalah manusia biasa yang memiliki sifat-sifat yang luar biasa, sering dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat terjadinya legenda di dunia kini waktu terjadinya tidak setua mite.

Dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang menceritakan atau yang mendengarkannya. Dongeng tidak terikat dengan waktu dan tempat.

Dari uraian di atas dapatlah diklasifikasikan jenis sastra lisan Karo itu sebagai berikut.


4.1. MITE

Cerita yang berhubungan dengan keajaiban dan erat hubungannya dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa mendapat tempat luas dalam masyarakat. Cerita tentang ciptaan dunia, penciptaan merga silima, perihal adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Karo dapat diikuti dalam :

a Cerita “ Manuk Sinanggur Dewa”. Mengapa masyarakat Karo sangat menghargai padi dan mengapa padi dikaitkan dengan sistem dan nilai-nilai kekerabatan pada masyarakat Karo, dapat pula dilihat pada cerita.
b “ Beru Dayang”, hal ini dapat diikuti pada cerita
c “ Padan Pengindo” dan juga pada cerita “ Manuk Sinanggur Dewa”. Mengapa merga Ginting Pase lenyap dari induk merga Ginting terkenal dengan julukan “Siwah Sada Ginting “, dapat diikuti pada cerita “ Beru Ginting Pase ‘. Selanjutnya pada cerita “ Si Aji Bonar “.
d “ Begu Ganjang “ ‘hantu’ termasuk cerita yang masih tetap hidup dan dianggap menyeramkan dan menegakkan bulu tengkuk pendengaran. Apalagi, diperhebat dengan cerita mengenai kematian karena begu ganjang.

4.2. LEGENDA

Masyarakat Karo umumnya mempercayai cerita-cerita yang berhubungan dengan asal-usul kejadian suatu tempat, bukit, pelangi, telaga, merga, dan lain-lain. Sebagaimana cerita lainnya, legenda sebagai warisan dari nenek moyang besar pengaruhnya bagi anggota masyarakat, sebab mengandung ajaran moral. Benda-benda peninggalan termasuk tempat dianggap sebagai bukti kebenaran cerita.

Legenda yang tersebar luas dalam masyarakat Karo, antara lain:
a “ Turi-turin Si Beru Tole” yang menceritakan hubungan seks yang terlarang antara paman dan kemanakan yang membuahkan keturunan sehingga mereka kena kutuk oleh dewata. Maka mereka berubah menjadi pelangi.
b “ Telagah Pitu i Sarinembah”
c “ Tengku Lau Bahun’.



4.3 DONGENG

Masyarakat Karo juga mendengar certa-cerita dongeng, baik cerita dongeng mengenai binatang maupun cerita dongeng mengenai manusia. Sebagaimana cerita lainnya, dongeng ini juga tersebar dan diceritakan turun temurun. Dongeng sebagai warisan dari nenek moyang, besar pengaruhnya bagi anggota masyarakat. Sebab cerita dongeng itu disamping ada yang berisi hiburan, ada juga yang berisi pengajaran atau edukatif.

Dongeng yang tersebar luas dalam masyarakat Karo antara lain:

a “ Kucing Siam” yang menceritakan seorang anak yang mencari ibu sejati.
b “ Cincing Ganjang Panura” diajarkan agar anak-anak jangan terlalu tinggi angan-angan, jangan lebih besar kemauan dari kemampuan.
c “Sibetah-betah” dikisahkan mengapa burung puyuh tidak berekor, kuda tidak bertanduk, kaki kerbau pecah, kepiting berbentuk gepeng, dan tumbuhan pakis
( tenggiang ) berbulu seperti warna rambut curai kuda.
d “ Nipe Sipurih-purih” diceritakan mengapa ular lidi hanya bisa menelan binatang kecil seperti jangkrik dan kayu busuk. Ini semua karena kutukan akibat ketamakannya.
e “ Pais Ma Solmih” pendengar diajarkan agar saat mengadili suatu perkara, bertindaklah sejujurnya karena bila tidak jujur yang diadili itu akan mengutuknya dan kutukannya itu akan dikabulkan Tuhan seperti apa yang diminta Solmih kepada Tuhan atas putusan pengadilan yang tidak jujur terhadap dirinya. Solmih tetap pada pendiriannya walau apaun hukuman yang diberikan kepadanya. Hanya dia bermohon kepada Tuhan agar menghukum orang yang mengadilinya itu. Doa Solmih dikabulkan Tuhan.
f “ Kekelengan Nande’ dikisahkan bagaimana kisah seorang ibu terhadap anaknya.
g“Si Jinaka” merupakan kisah yang kocak. Si Jinaka dianggap orang bodoh. Ia menumpang di rumah pamannya. Ia sudah yatim-piatu sejak kecil. Pekerjaannya sehari-hari hanya menemani pamannya ketempat perjudian. Apa yang diperintahkan pamannya selalu diturutinya, tetapi bila tidak disuruh apa pun yang terjadi tidak diperdulikannya sehingga pamannya merasa kesal. Oleh sebab itu si Jinaka yang dijual pamannya, berhasil menipu pembelinya. Dalam perjalanan si Jinaka menipu pembelinya, sehingga Si Jinaka berhasil lolos dan kembali ke kampungnya. Di kampung ia mengaku kembali dari tempat orang mati dan menceritakan kepada penduduk kampung tentang keadaan saudara-saudaranya yang telah meninggal itu dan membawa segala harta bendanya. Oleh Si Jinaka mereka dibawa melalui jalan yang sukar melalui tepi jurang sudah dipasang tali rotan oleh Jinaka. Semua barang mereka Si Jinaka yang membawanya, dan dia yang berjalan paling belakang. Setelah semuanya berpegangan pada tali rotan, dipotong Si Jinaka rotan itu. Mereka semua jatuh dan Si Jinaka menjadi kaya raya. Ia kawin dengan putri pamannya.

Demikianlah beberapa contoh cerita dongeng yang ditemui dalam cerita lisan Karo.


5. KESIMPULAN

Dari apa yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Menurut bentuknya, sastra lisan Karo dapat dibedakan atas :

1. puisi
2. prosa
3. prosa liris

- Menurut jenisnya, sastra lisan Karo dapat dibedakan atas :

1. mite
2. legenda
3. dongeng

Sastra lisan biasanya dipergunakan pada upacara-upacara adat, seperti upacara melamar gadis, upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara menghormati orang yang lanjut usia, upacara kematian, upacara peletakan batu pertama pendirian rumah, upacara memasuki rumah baru, upacara pemanggilan roh, upacara menanam dan menuai pada, upacara pesta tahunan, upacara menolak bala dan roh-roh jahat, upacara memanggil dan menolak hujan, dan lain-lain.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda